Pergi dan Dendam
Beberapa hari yang lalu sekitar tanggal 19 sampai 25 Mei saya mendapat tugas liputan ke pulau paling barat Indonesia. Aceh dan Sumatera Utara menjadi tujuan selama seminggu ke depan.
Sebulan terakhir media diisi dengan headline mengenai terdamparnya imigran asal Bangladesh dan Myanmar di Indonesia dan negara sekitar. Saya pun tak sengaja mengunjungi sebuah penampungan pengungsi di daerah Aceh Tamiang. Tak banyak memang yang ditampung, bahkan daripada penampungan lain di Kuala Langsa maupun Lhoksukon, tempat ini bisa dibilang terbaik. 47 pengungsi menempati sebuah wisma SKB Karang Baru Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang. Sekitar 9 kamar tersedia untuk mereka termasuk makan, minum, dan kebutuhan lainnya. Petama kali datang saya langsung disambut dengan perdebatan kecil antara pria Bangla (sebutan untuk orang Bangladesh) dan pria Myanmar etnis Rohingya. Pria Bangla mengambil sabun batang yang diklaim sebagai milik pria Myanmar, seketika pertengkaran muncul. Pencuri... pria Myanmar itu menyebut si pria Bangla. Untungnya relawan dan penjaga di wisam langsung melerai mereka. Padahal tanpa mengambil pun pria Bangla bisa dengan mudah meminta ke petugas untuk diberi sabun. Begitu penjelasan relawan untuk melerai mereka. Salah paham atau takut tak kebagian. Entahlah. Di antara keributak itu ada seorang pria Rohingya yang bisa berbahaya Melayu. Ia diminta oleh relawan untuk memberi nasihat dan penjelasan, bahwa kalau membutuhkan apa apa janganlah mengambil tapi mintalah kepada para penjaga atau relawan.
Amin kemudian memberikan laporan kepada si relawan yang saat itu sedang ada di dekat saya, bahwa ia telah menuntaskan tugasnya. Amin pun menceritakan mengapa orang Rohingya mudah tersulut emosi jika berurusan dengan Bangla. Pria yang mengambil sabun itu adalah orang Bangla yang telah membunuh tiga orang Rohingya ketika berada di atas kapal. Terombang ambing di laut selama tiga bulan membuat segala persediaan makanan orang Bangla habis. Inilah awal mula "pembantaian", orang Bangla marah ketika mereka meminta makanan dan minuman kepada orang Rohingya namun tak diberi. Menurut Amin orang Rohingya memang membawa perbekalan, itu pun tak cukup bagi mereka. Kebanyakan orang Rohingya pergi berlayar tak sendiri, mereka bawa sanak saudara dan keluarga. Kebalikan dari orang Bangla yang semuanya laki laki dan tak membawa keluarga. Di sinilah api emosi tersulut, merasa tak diberi makanan para Bangla pun naik pitam. Mereka memukul orang Rohingya kemudian mereka lempar ke laut. Untuk orang Bangla dan Myanmar yang takut berkelahi lebih memilih melompat ke laut dan berenang, hingga ditemukan oleh nelayan Aceh dan Pangkalan Susu.
Salah satu perempuan Rohingya yang dilempar ke laut adalah Halda. Perempuan berusia 17 tahun ini juga terpisah dengan adiknya Nauzumul Islam. Ternyata pergi dari negara yang tak ramah terhadap warga Muslim tak jauh lebih baik. Justru di sini ia malah kehilangan adiknya, padahal ia berencana pergi ke Malaysia untuk berjumpa dengan kakaknya. Pergi jauh dari negaranya justru membuatnya semakin menderita, meski Indonesia menampung mereka dengan tangan terbuka. Tapi saudara kandungnya entah di mana.
Saya dan teman teman relawan pun mencoba membantu, untungnya kami tahu bahwa sang adik masih hidup dan kini ditampung di pengungsian Kuala Langsa. Setelah mengurus perijinan sana sini yang tentu saja sedikit "ribet" mereka akhirnya bisa disatukan.
Komentar
Posting Komentar