Langsung ke konten utama

Cerita di Ngalam: Perjalanan


Penyakit yang sering kumat ketika punya rencana nulis selepas pulang dari liburan itu adalah malas hehehe. Pertamanya sih semangat maksimal dan menggebu gebu namun hilang karena satu dan lain hal yang harus dikerjain duluan. Tapi better late than never right? ^^
Jadi awal Agustus kemarin saya dan beberapa kawan mengambil cuti dan pergi ke Malang dari tanggal 8 hingga 12 Agustus. Disebut backpacker sih gak juga karena kami memutuskan untuk tidak “nggembel” alias memakai budget minimal untuk ke sana. Misalnya saja untuk tiket pulang pergi naik kereta ke Malang kami memilih naik kereta kelas eksekutif dibanding kelas ekonomi. Kenapa? Bukan karena songong hanya saja beda harganya tipis. Untuk tiket kereta Malioboro ekspres eksekutif di harga 210.000 sedangkan ekonomi 175.000, karena mempertimbangkan kesehatan punggung dan kenyamanan badan jadilah kami pilih tiket yang eksekutif. Begitu juga dengan pulangnya kami memilih kereta dan tiket yang sama.


Ini dia penampakan dalam kereta
dengan kursi adjustable, plus bantal dan selimut.

Perjalanan dari Jogja dimulai dari jam 20.45 dan sampai di Stasiun Malang pukul 04.00 pagi. Tiba di Malang kami menggunakan mobil sewaan yang dibanderol 600ribu perhari sudah include dengan bensin, parkir, sopir dll. Tapi kalau mau lebih ekonomis bisa dengan harga 400ribu hanya mobil dan driver belum dengan bensin. Terhitung mahal kalau cuma satu atau dua orang, karena kita keroyokan alias berlima jadi terasa ringan. Apalagi kami punya rute perjalanan yang lumayan panjang selama tiga hari ke depan mulai dari Malang- Bromo- Sempu- Malang. Bayangkan kalau harus naik bis dan angkot dengan rombongan hahaha… Meskipun terlihat mewah tapi cara ini cukup efisien, ekonomis, dan praktis.
Setibanya di Malang Minggu paginya, kami sudah dijemput oleh driver sewaan kami di Stasiun Malang. Gak langsung ke hotel sih kami ngelayap dulu ke Paralayang. Sebenarnya lebih tepat dibilang bukit karena cuma segitu aja naiknya. Waaaa ternyata udah banyak muda mudi di sana yang tengah berselfie ria hehe.

Pemandangan dari Paralayang.


Setelah dari Paralayang kami lanjut bersih bersih dan istirahat di sebuah losmen milik nenek driver kami di daerah Batu. Oiya kami sempat juga sarapan di nasi pecel yang lumayan enak, namanya Warung Rawon Djamiah Putra. Sengaja gak makan rawon karena pengen yang sayur sayur jadi saya lebih memilih nasi pecel. Setelah itu barulah kami pergi ke beberapa tempat di dalam kota Batu, seperti Eco Green Park dan Museum Angkut yang akan saya share di part kedua. Hehehe...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pergi dan Dendam Beberapa hari yang lalu sekitar tanggal 19 sampai 25 Mei saya mendapat tugas liputan ke pulau paling barat Indonesia. Aceh dan Sumatera Utara menjadi tujuan selama seminggu ke depan.  Sebulan terakhir media diisi dengan headline mengenai terdamparnya imigran asal Bangladesh dan Myanmar di Indonesia dan negara sekitar. Saya pun tak sengaja mengunjungi sebuah penampungan pengungsi di daerah Aceh Tamiang. Tak banyak memang yang ditampung, bahkan daripada penampungan lain di Kuala Langsa maupun Lhoksukon, tempat ini bisa dibilang terbaik. 47 pengungsi menempati sebuah wisma SKB Karang Baru Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang. Sekitar 9 kamar tersedia untuk mereka termasuk makan, minum, dan kebutuhan lainnya. Petama kali datang saya langsung disambut dengan perdebatan kecil antara pria Bangla (sebutan untuk orang Bangladesh) dan pria Myanmar etnis Rohingya. Pria Bangla mengambil sabun batang yang diklaim sebagai milik pria Myanmar, seketika pertengkaran muncul. Pencuri

Ancaman Media Sosial sebagai Sumber Konflik Nasional

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa memilki komponen masyarakat yang beragam, baik dari suku, karakteristik, budaya, hingga agama. Keberagaman ini memberikan corak tersendiri, namun juga berpotensi melahirkan benturan atau konflik. Menurut Karl Marx, konflik terjadi akibat adanya perbedaan kelas, serta ketidakseimbangan dalam masyarakat. Indonesia dengan kemajemukannya memiliki potensi konflik yang besar, terlebih jika konflik yang timbul dalam masyarakat melibatkan dua kelompok yang berbeda. Menurut The Fund for Peace (FFP) pada tahun 2017, Indonesia merupakan negara rentan konflik dengan indeks angka 74,9. Sejarah konflik horizontal di Indonesia pun tak sekali muncul untuk menguji kemajemukan, dimulai dari konflik antar suku Dayak dan Madura di Sampit pada tahun 1996, kerusuhan di Sambas, konflik antar agama di Ambon, kerusuhan di Sampang, dan yang paling menyita perhatian adalah konflik antara sebagian masyarakat muslim dengan mantan gubernur DKI Jakarta Basu

Siapa yang Gak Mau Dibimbing Rhenald Kasali?

Buat kalian yang belum tahu apa RK Mentee  atau Rhenald Kasali Mentee wajib baca tulisan ini. Kenapa? Karena ini adalah program pelatihan yang sangat keren buat kalian lulusan perguruan tinggi dan masih muda. Menurut saya idealnya peserta potensial di sini adalah dibawah 25 tahun, atau boleh lah di atas 25 tahun asal belum mecicipi dunia kerja profesional. Lebih bagus lagi, program ini cocok untuk kalian yang masih galau mau ngapain seusai kuliah. Supaya kalian tidak hanya jadi generasi galau seperti saya sembilan tahun yang lalu. Seperti namanya  RK Mentee , program ini memang digagas oleh Rhenald Kasali , pendiri house of entrepreneurs   Rumah Perubahan di Bekasi. Beliau juga merupakan guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mentee berasal dari kata mentor, sama dengan trainee yang artinya adalah orang yang dilatih atau dimentoring.  RK Mentee  ini merupakan program pelatihan agar generasi muda mampu menjadi agen perubahan. Perubahan positif dari diri, kemudia