Bertemu Presiden Ketiga Indonesia: Rudy
Obsesi ini muncul beberapa bulan yang lalu, entahlah this
wish came in outta the blue. Tiba tiba saja ingin sekali bertemu dan
mengabadikan satu foto bersama beliau, Bacharuddin Jusuf Habibie. Aneh saya
rasa tidak, karena bahkan sejak kemunculannya di beberapa episode Mata Najwa
saya selalu sukses menangis sekaligus termotivasi mendengar penuturan dan
pengalamannya. Terlebih beberapa bulan yang lalu saya mendapat tugas membuat video tape “Gerakan Mencetak Sejuta
Habibie” yang konon dirintis oleh salah satu alumni beasiswa Habibie, beasiswa
yang popular ketika beliau masih menjabat
sebagai menristek di era orde baru. Beasiswa yang menjadi ambisi setiap
siswa yang ingin sekolah jurusan teknik di luar negeri. Nah dari liputan VT itu
lah saya semakin ingin untuk sekolah lagi, sekolah adalah salah satu hal yang
paling saya sukai. Sekolah di mana pun, mau di luar negeri atau dalam negeri.
Dari liputan itu saya paham mengapa si alumni ini ingin
mendorong banyak anak Indonesia untuk mencoba sekolah di luar negeri khususnya
Jerman dan Perancis. Alasannya dua negara inilah yang biaya sekolahnya cuma
cuma alias gratis. Apalagi jurusan teknik di Jerman menjadi favorit sebagian
mahasiswa yang kuliah di sana. Singkat cerita saya jadi lebih jatuh cinta pada
eyang, sapaan akrab Habibie. Jatuh cinta pada cita-cita dan janjinya pada
Indonesia untuk sekolah di luar negeri dan kembali lagi ke Indonesia.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, hari Senin 12 Oktober lalu ada
undangan peluncuran buku terbaru tentang masa muda eyang sebelum menjadi
presiden dan bertemu dengan Ainun. Buku biografi ini ditulis oleh Gina S. Noer
dengan judul “Rudy Kisah Masa Muda Sang Visioner”. Penulis yang juga menulis naskah skenerio film
Habibie Ainun yang meledak dan tak perlu ditanya seberapa sukses mengaduk
aduk emosi penonton. Dengan adanya undangan peluncuran buku ini saya tentu tak
menyianyiakan, saya bahkan sengaja menawarkan diri kepada produser agar bisa
meliput acara yang diselenggarakan oleh Bentang Pusataka selaku penerbit di
perpustakaan pribadi eyang. Padahal di
hari Minggunya saya harus menghadiri pernikahan sahabat saya di Sragen, kota
nan jauh di perbatasan Jawa Tengah sana. Tapi tak mengapa dengan penerbangan jam 9.45 dan tiba di Jakarta
pukul 11.30 saya langsung menuju kantor untuk menyiapkan alat dan transportasi untuk
liputan ke sana.
Penampakan perpustakaan eyang, bagus kan? |
Sampai di kediaman beliau saya deg deg an pertama kali
melihat langsung bagaimana sosok Habibie bercerita tentang masa mudanya. Betapa
dia lebih suka dipanggil eyang dan lebih suka menyebut anak anak muda Indonesia
sebagai anak dan cucu intelektualnya. Beliau berkata, generasi muda harus
diberi contoh yang nyata bukan contoh dalam dongeng. Dan bahwa cita cita itu
terasa lebih nyata dibandingkan disebut sebagai mimpi. Makanya eyang lebih suka
menggunakan kata cita-cita untuk menggambarkan keinginannya ketimbang dengan
kata mimpi.
Sesi foto bersama para wartawan, di sebelah eyang yang pakai kaca mata itu adalah sang penulis Gina S. Noer. |
Semua hadirin yang datang mayoritas sudah berumur, ada
sahabat eyang ketika kuliah di Jerman, teman sekolahnya hingga sang dokter
sahabat Ainun juga datang. Dalam acara itu beliau juga bercerita bahwa sang
Mami (beliau memanggil sang ibu) harus kuat mengirim eyang untuk berlayar ke
Jakarta demi pendidikannya ketika 40 hari setelah Papinya meninggal. Cerita ini
bisa dibaca lebih dalam di bukunya yang bersampul warna biru dengan gambar
eyang memegang sebuah pesawat.
Sampul depan buku Rudy, sedari kecil sudah rupawan. |
Setelah acara diskusi, saya dapat kesempatan untuk bertanya,
saya menanyakan perihal mengapa eyang bersedia membagi cerita masa mudanya
dan kemudian dibukukan. Jawabannya adalah agar kisahnya sebagai problem solver
ketika masih muda dapat diceritakan kembali kepada anak cucu intelektualnya.
Bukan hanya sebuah cerita dalam bentuk dongeng, namun cerita nyata karena
memang ada orangnya.
Deg deg an jelas sekali saya rasakan, apalagi eyang adalah
tipikal orang yang akan menajwab sebuah pertanyan secara lengkap dari hulu ke
hilir. Tiba saatnya ketika beliau harus menjawab pertanyaan wartawan di sesi
presscon. Saya pun berkesempatan melihat beliau dari dekat, sedih sekali ketika melihat beliau mendengar pertanyaan dari wartawan tangannya sempat gemetaran di atas tongkat yang selalu ia bawa, mungkin karena sudah
sepuh. Tapi dia masih terus menjawab pertanyaan dengan maksimal. Bahkan setelah
itu eyang masih bersedia dieksploitasi para hadirin yang ada di sana, mulai dari foto bersama wartawan, kemudian berfoto lagi dengan hadirin undangan lain yang datang. Setelah itu masih diberondong permintaan untuk menandatangai buku
Rudy. Dan tak sekalipun eyang menolak meskipun tanda tangan yang beliau
bubuhkan terlihat bergetar. Eyang we so proud of you.
Kak luky plis bimbingannya. Came outta the blue artinya apa?
BalasHapus