Langsung ke konten utama

Esai 15 Menit

          Esai ini merupakan tulisan yang saya buat untuk memenuhi syarat wajib sebuah kegiatan yang pernah saya ikuti. Temanya adalah explain your self, meskipun tidak bagus-bagus sekali tapi lumayan lah bisa lolos penyisihan kesekian. :p 
                                                                     ******
“Explain Your Self”
Disusun oleh: Luky Fitriani
Kalau Rhenald Khasali pernah menulis generasi muda saat ini sering galau, saya pernah berada di dalam generasi  seperti ini. Generasi yang ketika saya duduk di bangku SMA masih bingung kuliah dimana dan ambil jurusan apa. Hingga pada akhirnya saya memutuskan mengikuti tes psikologi untuk menentukan minat dan bakat saya di dunia pekerjaan. Hasilnya adalah pekerjaan yang cocok untuk saya berdasarkan tes itu berupa perawat, guru, dan wartawan. Ternyata hasil tes ini tidak membuat saya lega, saya masih harus berjuang memilih jurusan kuliah mana yang kira kira tepat dari sekian banyaknya.  Sampai akhirnya  saya terhempas di sebuah universitas di Surakarta dengan jurusan ilmu komunikasi.
Masa masa kuliah saya jalani dengan cukup biasa saja, mulai dari menajdi anak kos di Solo karena rumah saya di Magelang. Kemudian mulai menjadi mahasiswa baru, belajar, kuliah, ikut organisasi dan akhirnya lulus menjadi sarjana ilmu komunikasi. Justru ketika saya baru lulus saya baru menyadari pekerjaan apa yang saya inginkan. Hal ini berawal ketika ketua jurusan saya menawari sebuah lowongan pekerjaan di stasiun TV baru. Bahkan mungkin stasiun TV ini belum memulai siaran perdananya. Saya mengikuti semua serangkaian persyaratan dan seleksi sampai akhirnya lolos di media yang sebut saja TV Masa Kini sebagai karyawan angkatan pertama. Namun sayang karena stasiun TV ini mengharuskan karyawan barunya mengikuti sebuah training ala kemiliteran tepat di hari saya akan diwisuda. Ijin yang saya ajukan tidak diberikan karena training ini merupakan program wajib dengan karantina selama beberapa hari. Akhirnya saya memutuskan untuk mundur dari pekerjaan ini dan memilih wisuda. Bukan keputusan saya pribadi, namun mempertimbangkan kemauan keluarga dan setelah melakukan konsultasi ke dosen pembimbing  skripsi saya yang kebetulan juga dekan di fakultas saya. Dosen yang saya ajak berdiskusi ini berkata kalau saya sebaiknya wisuda dulu, supaya setelah wisuda tahu bagaimana sulitnya mencari kerja. Sehingga saya akan lebih menghargai dan bersyukur ketika punya pekerjaan nanti.  Selain itu beliau berkata bahwa bekerja di media yang baru itu bukan hanya tidak mudah tapi berdarah-darah sekali. Mereka harus berjuang, bersaing, dan berdiri di tengah media yang sudah mapan dan sustainable.
Maka kehidupan saya berlanjut setelah wisuda, saya mulai mencari pekerjaan lain. Kadang ada pekerjaan namun gajinya di luar kewajaran sehingga akhirnya orang tua saya menyuruh untuk mengikuti kursus bahasa asing saja dahulu sambil mencari pekerjaan yang layak. Dua bulan setelah wisuda saya diterima bekerja di sebuah lembaga pelatihan bahasa asing. Sekaligus saya bisa mengambil kursus bahasa di sana. Dalam masa dua bulan mencari pekerjaan ini lah saya baru menyadari kalau saya sangat ingin menjadi reporter atau wartawan. Pada saat itu yang saya pikirkan adalah pekerjaan sebagai reporter itu sangat keren. Menyebarkan informasi kepada masyarakat saya sebut sebagai pengabdian, dengan informasi yang benar dan berimbang tentu saja. Apalagi media merupakan pilar keempat demokrasi. Meskipun terdengar klasik tapi itulah yang saya yakini pada saat itu. Maka ketika saya sudah mulai bekerja di lembaga pelatihan bahasa asing tersebut,  saya masih tetap melamar  pekerjaan lain di berbagai media.  Sampai akhirnya saya diterima di media yang sama yaitu TV Masa Kini setelah enam bulan mencari-cari tepatnya pada November 2013. Bukan karena ngotot ingin kerja di TV itu, tapi karena saya baru menyadari bahwa  reporter adalah pekerjaan yang saya inginkan. Saya merasa untuk pertama kalinya saya punya cita-cita dan punya semangat pantang menyerah untuk mewujudkannya.
Maka dimulailah perjalanan hidup saya menjadi anak rantauan di ibu kota. Enam bulan pertama menjadi momentum bagi saya untuk beradaptasi dengan kehidupan Jakarta sekaligus pekerjaan saya. Bagaimana seorang daerah yang terbiasa berbicara dengan aku kamu harus terpaksa mendengar kata “lo” dan “gue” diucapkan dari anak TK hingga lanjut usia. Bukan gegar budaya tentu saja, tapi lebih kepada ketidakpercayaan diri bergaul dengan anak anak ibu kota. Minder, ya bisa dibilang seperti itu. Tapi saya tetap mencoba untuk berjuang menembus perbedaan tanpa harus mengubah karakteristik saya sebagai anak daerah. Meskipun saya sering ditertawakan karena aksen saya yang
“medok”, tapi bagi saya itu bukan masalah. 
Singkatnya selama enam bulan pertama di Jakarta saya cukup berhasil bertahan di antara tekanan kota metropolitan yang setiap saat macet, tekanan dari pekerjaan baru, dan tekanan harus bisa menciptakan pertemanan di lingkungan kantor.  Tidak mudah tentu saja, baru tiga bulan saja sudah ada sekitar lima teman saya yang gugur dan memilih kembali pulang ke kampung halaman karena tidak tahan tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai wartawan.

Bagi saya yang membuat saya bertahan adalah keyakinan bahwa usaha yang maksimal tidak akan mengkhianati hasil. Apa yang saya mulai harus saya selesaikan juga. Tentu saja ditambah restu dan doa dari orang tua membuat saya selalu bisa mengendalikan segala hambatan dan masalah menjadi hikmah. Tapi bukan berarti saya tidak pernah putus asa di tengah perjalanan dua tahun saya di Jakarta. Hampir menyerah pernah, namun saya kembali mengingat mengapa saya memulai pekerjaan ini. Karena pekerjaan ini mulia. Mencerahkan masyarakat dengan informasi yang bermanfaat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pergi dan Dendam Beberapa hari yang lalu sekitar tanggal 19 sampai 25 Mei saya mendapat tugas liputan ke pulau paling barat Indonesia. Aceh dan Sumatera Utara menjadi tujuan selama seminggu ke depan.  Sebulan terakhir media diisi dengan headline mengenai terdamparnya imigran asal Bangladesh dan Myanmar di Indonesia dan negara sekitar. Saya pun tak sengaja mengunjungi sebuah penampungan pengungsi di daerah Aceh Tamiang. Tak banyak memang yang ditampung, bahkan daripada penampungan lain di Kuala Langsa maupun Lhoksukon, tempat ini bisa dibilang terbaik. 47 pengungsi menempati sebuah wisma SKB Karang Baru Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang. Sekitar 9 kamar tersedia untuk mereka termasuk makan, minum, dan kebutuhan lainnya. Petama kali datang saya langsung disambut dengan perdebatan kecil antara pria Bangla (sebutan untuk orang Bangladesh) dan pria Myanmar etnis Rohingya. Pria Bangla mengambil sabun batang yang diklaim sebagai milik pria Myanmar, seketika pertengkaran muncul. Pencuri

Ancaman Media Sosial sebagai Sumber Konflik Nasional

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa memilki komponen masyarakat yang beragam, baik dari suku, karakteristik, budaya, hingga agama. Keberagaman ini memberikan corak tersendiri, namun juga berpotensi melahirkan benturan atau konflik. Menurut Karl Marx, konflik terjadi akibat adanya perbedaan kelas, serta ketidakseimbangan dalam masyarakat. Indonesia dengan kemajemukannya memiliki potensi konflik yang besar, terlebih jika konflik yang timbul dalam masyarakat melibatkan dua kelompok yang berbeda. Menurut The Fund for Peace (FFP) pada tahun 2017, Indonesia merupakan negara rentan konflik dengan indeks angka 74,9. Sejarah konflik horizontal di Indonesia pun tak sekali muncul untuk menguji kemajemukan, dimulai dari konflik antar suku Dayak dan Madura di Sampit pada tahun 1996, kerusuhan di Sambas, konflik antar agama di Ambon, kerusuhan di Sampang, dan yang paling menyita perhatian adalah konflik antara sebagian masyarakat muslim dengan mantan gubernur DKI Jakarta Basu

Siapa yang Gak Mau Dibimbing Rhenald Kasali?

Buat kalian yang belum tahu apa RK Mentee  atau Rhenald Kasali Mentee wajib baca tulisan ini. Kenapa? Karena ini adalah program pelatihan yang sangat keren buat kalian lulusan perguruan tinggi dan masih muda. Menurut saya idealnya peserta potensial di sini adalah dibawah 25 tahun, atau boleh lah di atas 25 tahun asal belum mecicipi dunia kerja profesional. Lebih bagus lagi, program ini cocok untuk kalian yang masih galau mau ngapain seusai kuliah. Supaya kalian tidak hanya jadi generasi galau seperti saya sembilan tahun yang lalu. Seperti namanya  RK Mentee , program ini memang digagas oleh Rhenald Kasali , pendiri house of entrepreneurs   Rumah Perubahan di Bekasi. Beliau juga merupakan guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mentee berasal dari kata mentor, sama dengan trainee yang artinya adalah orang yang dilatih atau dimentoring.  RK Mentee  ini merupakan program pelatihan agar generasi muda mampu menjadi agen perubahan. Perubahan positif dari diri, kemudia