Esai ini merupakan tulisan yang saya buat untuk memenuhi syarat wajib sebuah kegiatan yang pernah saya ikuti. Temanya adalah explain your self, meskipun tidak bagus-bagus sekali tapi lumayan lah bisa lolos penyisihan kesekian. :p
******
“Explain Your
Self”
Disusun oleh:
Luky Fitriani
Kalau
Rhenald Khasali pernah menulis generasi muda saat ini sering galau, saya pernah
berada di dalam generasi seperti ini.
Generasi yang ketika saya duduk di bangku SMA masih bingung kuliah dimana dan
ambil jurusan apa. Hingga pada akhirnya saya memutuskan mengikuti tes psikologi
untuk menentukan minat dan bakat saya di dunia pekerjaan. Hasilnya adalah
pekerjaan yang cocok untuk saya berdasarkan tes itu berupa perawat, guru, dan
wartawan. Ternyata hasil tes ini tidak membuat saya lega, saya masih harus
berjuang memilih jurusan kuliah mana yang kira kira tepat dari sekian banyaknya. Sampai akhirnya saya terhempas di sebuah universitas di
Surakarta dengan jurusan ilmu komunikasi.
Masa
masa kuliah saya jalani dengan cukup biasa saja, mulai dari menajdi anak kos di
Solo karena rumah saya di Magelang. Kemudian mulai menjadi mahasiswa baru, belajar,
kuliah, ikut organisasi dan akhirnya lulus menjadi sarjana ilmu komunikasi.
Justru ketika saya baru lulus saya baru menyadari pekerjaan apa yang saya
inginkan. Hal ini berawal ketika ketua jurusan saya menawari sebuah lowongan
pekerjaan di stasiun TV baru. Bahkan mungkin stasiun TV ini belum memulai
siaran perdananya. Saya mengikuti semua serangkaian persyaratan dan seleksi
sampai akhirnya lolos di media yang sebut saja TV Masa Kini sebagai karyawan
angkatan pertama. Namun sayang karena stasiun TV ini mengharuskan karyawan
barunya mengikuti sebuah training ala kemiliteran tepat di hari saya akan
diwisuda. Ijin yang saya ajukan tidak diberikan karena training ini merupakan program
wajib dengan karantina selama beberapa hari. Akhirnya saya memutuskan untuk
mundur dari pekerjaan ini dan memilih wisuda. Bukan keputusan saya pribadi,
namun mempertimbangkan kemauan keluarga dan setelah melakukan konsultasi ke
dosen pembimbing skripsi saya yang
kebetulan juga dekan di fakultas saya. Dosen yang saya ajak berdiskusi ini berkata
kalau saya sebaiknya wisuda dulu, supaya setelah wisuda tahu bagaimana sulitnya
mencari kerja. Sehingga saya akan lebih menghargai dan bersyukur ketika punya
pekerjaan nanti. Selain itu beliau
berkata bahwa bekerja di media yang baru itu bukan hanya tidak mudah tapi
berdarah-darah sekali. Mereka harus berjuang, bersaing, dan berdiri di tengah
media yang sudah mapan dan sustainable.
Maka
kehidupan saya berlanjut setelah wisuda, saya mulai mencari pekerjaan lain.
Kadang ada pekerjaan namun gajinya di luar kewajaran sehingga akhirnya orang
tua saya menyuruh untuk mengikuti kursus bahasa asing saja dahulu sambil
mencari pekerjaan yang layak. Dua bulan setelah wisuda saya diterima bekerja di
sebuah lembaga pelatihan bahasa asing. Sekaligus saya bisa mengambil kursus
bahasa di sana. Dalam masa dua bulan mencari pekerjaan ini lah saya baru
menyadari kalau saya sangat ingin menjadi reporter atau wartawan. Pada saat itu
yang saya pikirkan adalah pekerjaan sebagai reporter itu sangat keren.
Menyebarkan informasi kepada masyarakat saya sebut sebagai pengabdian, dengan informasi
yang benar dan berimbang tentu saja. Apalagi media merupakan pilar keempat
demokrasi. Meskipun terdengar klasik tapi itulah yang saya yakini pada saat
itu. Maka ketika saya sudah mulai bekerja di lembaga pelatihan bahasa asing
tersebut, saya masih tetap melamar pekerjaan lain di berbagai media. Sampai akhirnya saya diterima di media yang
sama yaitu TV Masa Kini setelah enam bulan mencari-cari tepatnya pada November
2013. Bukan karena ngotot ingin kerja di TV itu, tapi karena saya baru
menyadari bahwa reporter adalah
pekerjaan yang saya inginkan. Saya merasa untuk pertama kalinya saya punya
cita-cita dan punya semangat pantang menyerah untuk mewujudkannya.
Maka
dimulailah perjalanan hidup saya menjadi anak rantauan di ibu kota. Enam bulan
pertama menjadi momentum bagi saya untuk beradaptasi dengan kehidupan Jakarta
sekaligus pekerjaan saya. Bagaimana seorang daerah yang terbiasa berbicara
dengan aku kamu harus terpaksa mendengar kata “lo” dan “gue” diucapkan dari
anak TK hingga lanjut usia. Bukan gegar budaya tentu saja, tapi lebih kepada
ketidakpercayaan diri bergaul dengan anak anak ibu kota. Minder, ya bisa
dibilang seperti itu. Tapi saya tetap mencoba untuk berjuang menembus perbedaan
tanpa harus mengubah karakteristik saya sebagai anak daerah. Meskipun saya
sering ditertawakan karena aksen saya yang
“medok”, tapi bagi saya itu bukan masalah.
“medok”, tapi bagi saya itu bukan masalah.
Singkatnya
selama enam bulan pertama di Jakarta saya cukup berhasil bertahan di antara
tekanan kota metropolitan yang setiap saat macet, tekanan dari pekerjaan baru,
dan tekanan harus bisa menciptakan pertemanan di lingkungan kantor. Tidak mudah tentu saja, baru tiga bulan saja
sudah ada sekitar lima teman saya yang gugur dan memilih kembali pulang ke
kampung halaman karena tidak tahan tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai
wartawan.
Bagi
saya yang membuat saya bertahan adalah keyakinan bahwa usaha yang maksimal
tidak akan mengkhianati hasil. Apa yang saya mulai harus saya selesaikan juga.
Tentu saja ditambah restu dan doa dari orang tua membuat saya selalu bisa
mengendalikan segala hambatan dan masalah menjadi hikmah. Tapi bukan berarti
saya tidak pernah putus asa di tengah perjalanan dua tahun saya di Jakarta. Hampir
menyerah pernah, namun saya kembali mengingat mengapa saya memulai pekerjaan
ini. Karena pekerjaan ini mulia. Mencerahkan masyarakat dengan informasi yang
bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar