Baru saja saya membaca
sebuah tulisan yang dibuat oleh seorang guru besar ilmu manajemen di
universitas negeri terkemuka di ibukota. Judul artikel itu adalah “Encouragement”, tentang titik balik dan cara
pandang penulis tersebut mengenai sistem pendidikan anaknya di Amerika. Berbicara
mengenai dorongan atau memberi semangat, sejujurnya saya sangat suka dengan setiap
tulisan guru besar ini. Sekitar dua kali saya pernah mewawancarai beliau yang
juga merupakan penulis buku-buku pengembangan diri. Sedikit bangga sudah pasti,
melihat beliau adalah orang penting, akademisi yang cukup hebat, dan disegani.
Tak hanya itu, tulisannya, pencapaiannya, bahkan lembaga yang ia dirikan membuat
saya mengaguminya, hingga berminat mengikuti sebuah seleksi untuk kegiatan pelatihan
pengembangan diri bertema "Self
Driving". Seleksi pertama saya harus mengirimkan CV dan esai sekitar
dua lembar dengan tema deskripsi mengenai diri. Singkat cerita saya lolos ke
tahap kedua, di tahap ini saya harus menjawab pertanyaan secara online. Pertanyaan
yang diajukan berupa psikotest, seperti
kalau anda mengetahui atasan anda melakukan suatu kesalahan apa yang anda
lakukan dan lain sebagainya. Saya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam
kurun waktu 10 menit di sela-sela kunjungan saya di sebuah festival pembaca di
Jakarta. Saya akui saya kurang siap karena saya menjawab dengan telepon seluler
dan bukan dengan seperangkat komputer yang layak dan jaringan internet stabil.
Tapi kembali lagi, saya pikir kalau peluang itu termasuk rejeki, if it is meant to be mine it will
be. Kira-kira itu yang saya pikirkan pada saat itu, kalau rejeki tidak akan
kemana.
Singkatnya, seleksi tahap
selanjutnya yang secara online itu saya gagal dan tidak lolos. Sebenarnya saya
cukup aware dengan pengerjaan yang tidak maksimal,
jadi cukup menerima dengan lapang dada bahwa saya tidak masuk kualifikasi yang
dibutuhkan. Sampai pada akhirnya ada sebuah pesan mengatakan saya diberi
kesempatan menjadi peserta cadangan atau bahasa kerennya waiting list participant dengan melalui wawancara via video call terlebih dahulu. Okay,
I take this opportunity then. Seorang
pria yang mengirimkan pesan tersebutlah yang mewawancarai saya melalui video call. Pertanyaan pertama yang ia
ajukan adalah bagaimana perasaan saya ketika diberi "kesempatan
kedua", kemudian saya sedang di mana, kenapa Sabtu malam masih di kantor,
apakah tidak punya pacar, bekerja di perusahaan apa, dan memang saya tidak
menyebutkan saya bekerja sebagai apa karena saya pikir itu semua sudah ada di
CV. Hingga pada detik selanjutnya si pewawancara ini berkata "Kamu bekerja
di TV kan, kenapa harus muter muter kan semua ada di CV". Dari situ saya
merasa "Lah kalau udah tahu kenapa masih nanya." Saya memang bukan
tipikal orang yang akan bicara saya bekerja sebagai apa. Bagi saya kalau itu
tidak ada hubungannya, saya tidak perlu memamerkan pekerjaan saya. Intinya ya
sudah kalau sudah tahu, atau paling tidak bertanya saja dengan nada ramah dan sopan,
pasti akan saya jawab kalau ingin sekali tahu. Pada akhirnya sampai pada
pertanyaan paling menggelitik bagi saya adalah siapkah kamu untuk tidak menikah
selama dua tahun ke depan. Wah pertanyaan agak sensitif di umur saya yang
selalu ditanya kapan nikah. Bukan itu sebenarnya yang membuat saya agak annoyed. Jawaban saya sama dari
dulu untuk hal apapun. Ketika saya sudah menandatangani sebuah kontrak, saya
akan konsisten dengan komitmen itu. Dan memang dua tahun lagi adalah waktu
paling maksimal yang pacar saya katakan untuk menikah. Itu yang saya katakan,
meskipun saya jujur jangan sampai menunggu dua tahun lagi untuk menikah. Selain
itu saya menambahkan jawaban saya dengan pertanyaan "memangnya dalam dua
tahun itu kenapa kalau kita menikah?”. Jawaban dari si pewawancara adalah
karena nanti emapt orang terpilih akan dididik secara langsung oleh guru besar
ini, dipertemukan dengan orang-orang penting, dan akan sering keluar kota dalam
beberapa hari. Itu alasan yang menurut saya agak tidak bisa saya terima secara
nalar. Kemudian saya menambahkan jawaban saya dengan begini, "Saya tipikal
orang yang akan menyelesaikan apa saja yang sudah saya mulai, lebih-lebih ada
kontrak di dalamnya. Tapi saya tidak setuju dengan konsep menikah menghalangi
saya untuk hal yang tadi pewawancara sebutkan. Bagi saya menikah bukan halangan
dalam hal apapun. Ini soal pengertian dan toleransi. Terlebih di kantor saya, keluar
kota selama seminggu merupakan hal yang sering dilakukan bahkan oleh wanita
yang sudah menikah, dan hal tersebut tidak menjadi kendala. Apalagi yang
membuat saya agak gerah adalah cara bapak pewawancara ini mewawancarai saya
dengan gaya yang menurut saya agak arogan. Kemudian dia bertanya apakah saya
pernah bertemu dengan guru besar pimpinan lembaga ini, ya saya jawab sudah
pernah. Menurut saya sosok guru besar ini sangat bijak, tidak arogan, dan
bahkan ramah. Beda sekali dengan si pewawancara ini, saya penasaran sebenarnya
si pewawancara ini mengenal sosok guru besar ini apa tidak. Tapi kata teman
saya seorang pewawancara biasanya memang diciptakan untuk menjatuhkan mental
yang diwawancara.
Ah sudahlah, bukan itu
yang ingin saya bagikan. Tapi mengenai encouragement,
dorongan semangat yang selalu ditebarkan dalam setiap tulisan guru besar ini
tidak saya temukan ketika melakukan wawancara dengan stafnya. Setelah beberapa
hari pengumuman pun keluar, dan nama saya ada dalam 40 peserta yang lolos ke
dalam kegiatan pelatihan ini. Beberapa hari kemudian si bapak pewawancara ini
memasukkan saya ke sebuah message
group, kumpulan para peserta
yang lolos. Setelah memasukkan saya, eh kemudian mengeluarkan saya dari grup
ini. Karena saya tipikal orang yang mengamati dulu jadi saya tidak bereaksi.
Sampai akhirnya si bapak pewawancara ini mengirim pesan ke saya melalui whatsapp yang berisikan bahwa saya telah
mengirim surat bermaterai namun kenapa tidak konfirmasi ke si bapak ini. Waduh
kok agak baper sepertinya si bapak ini, kalau tentang konfirmasi mengenai surat
bermaterai, saya kirimkan screenshoot email yang ia kirim tentang konfirmasi
berupa kirimkan surat yang telah diisi dengan materai dan tandatangan melalui
email. Karena saya merasa sudah konfirmasi melalui email tersebut, dan di email
tidak ada himbauan untuk konfirmasi ulang melalui jalur pribadi. Kalau email
kedua yang beliau kirim, berisikan silakan peserta merencanakan perjalanan dari
daerah asal dan infokan ke si bapak pewawancara ini. Karena tidak ada dateline
kapan informasi harus dikirim paling lambat dan waktu pelatihan masih sekitar
belasan hari dan kebetulan saya sedang cuti saya belum memberikan informasi apa
apa. Lagipula saya berdomisili di Jakarta dan si pewawancara ini tahu, kenapa
harus seperti ini perlakuannya. Untuk mempersingkat ketidaknyamanan saya pun
membalas dengan meminta maaf dan meminta informasi pukul berapa saya harus
sudah hadir di tempat pelatihan di hari pertama camp. Dan...... tidak dijawab
dan hanya di read saja. Sekian.
Setelah itu baru nomor
saya kembali dimasukan ke grup whatsapp dan tidak diremove akhirnya, saya memperkenalkan diri
sesuai prosedur dan mengisi presensi. Kemudian setelah menjadi silent reader di grup itu saya baru tahu
kalau ada sistem check
in di jam tertentu saja yang
berlaku dan dilayani. Si bapak pewawancara ini sepertinya sekali lagi
menekankan dan memberikan informasi tentang jam kedatangan yang akan dilayani
dan di luar jam tersebut tidak akan dilayani. Pesan berikutnya beliau juga
minta untuk semua peserta merespons pesan singkatnya. Dengan agak enggan saya
pun merespons dengan kata kata siap dan terimakasih atas infonya. Kebetulan
grup ini diisi oleh beberapa orang yang aktif dan bersemangat meramaikan wadah
informasi ini. Tapi ada seorang peserta yang berkata di sela-sela euforia berkata mungkin ada beberapa anggota
yang menjadi observer dahulu sebelum merespons karena memang penambahan peserta
dalam grup tidak serentak dan pasti ada informasi yang tertelan karena belum
ikut bergabung. Itu saya banget, saya menjadi silent reader karena
informasi yang saya dapat seperti puzzle jadi saya harus menerka-nerka, apalagi
pesan saya yang hanya dibaca saja oleh si bapak ini membuat saya tambah sedikit annoyed. Jadi begitu lah
tulisan ini saya buat karena saya merasa ada gap yang jauh mengenai encouragement yang guru besar ini tumbuhkan dan apa
yang dilakukan oleh stafnya. We
will see later.
Kakak.. nulisnya satu paragraf banget? :'(
BalasHapushahaha nulisnya berapi api jadi gak kerasa :p
BalasHapus